Di sini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menjulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menjulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria
Lagu tersebut adalah lagu lama yang tiba-tiba menjadi ingin sekali bagiku, beberapa waktu lalu, untuk sering melantunkannya. Bahkan, sampai suatu ketika ada seorang ikhwah berkata “itu kan lagu jadul, ngapain masih engkau nyanyikan”, dan tetapi aku tetap tak mempedulikannya. Ya karena lagu ini mengingatkanku pada satu hal, atau tepatnya tiga hal. Tentang cinta, iman, dan ukhuwah. Dan sahabat, malam ini, ingin sekali aku berbagi denganmu. Berbicara tentang tiga hal itu, cinta, iman dan ukhuwah. Tiga hal yang saling terkait, yang saling membutuhkan. Dan tiga hal itulah yang membuat generasi terbaik , para salafushalih mampu menuju peradaban tertinggi.
Mari kita bicarakan mulai yang
pertama, tentang cinta sejati, yang katanya orang-orang indah, dan memang benar
cinta sejati itu indah, seperti cintanya Muhammad pada ummatnya, yang sangat
mengharukan. Yang ketika itu, sang penyair bernama Iqbal berkata “Kalau aku
adalah Muhammad,” kata Iqbal, “aku takkan turun kembali ke bumi setelah sampai
di Sidratul Muntaha.”Iqbal barangkali mewakili perasaan kita semua, siapa yang
tidak ingin berdekatan dengan Allah, di langit ketujuh, di Sidratul Muntaha,
terlalu menggoda untuk ditinggalkan apalagi untuk sebuah kehidupan penuh darah
dan air mata di muka bumi. Dua kehidupan yang berbeda samasekali. Tapi Sidratul
Muntaha bagi Muhammad adalah bukan terminal penghentian. Maka Sang Nabi turun
ke bumi juga akhirnya. Menembus kegelapan hati ummatnya dan menyentuhnya dengan
lembut, lalu kemudian menyalakannya kembali dengan api cinta.
Cintalah yang menggerakkan langkah
kakinya turun ke bumi. Cinta juga yang mengilhami batinnya dengan kearifan saat
ia berdoa setelah anak-anak Thaif melemparinya dengan batu sampai kakinya
berdarah: “Ya Allah, beri petunjuk pada umatku, sesungguhnya mereka tidak
mengetahui.” Seperti juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian,
saat ia membebaskan penduduk Mekah yang ia taklukkan setelah pertarungan
berdarah -darah selama dua puluh tahun: “Pergilah kalian semua, kalian sudah
kumaafkan,” katanya ksatria. Ah, memang seperti itulah cinta. Cinta itu indah.
Dan Sang nabi telah membuktikannya. Lalu mengapa saat ini, banyak orang
mengatasnamakan cinta, tetapi seiring dengan itu, hanya penderitaan lah yang
didapat. Seperti kisah Laila Majnun, seperti kisah Romeo dan Juliet. Seperti
kebanyakan orang saat ini, yang hilang nafsu makannya hanya karena diputus sang
kekasih, yang rela meneguk satu botol baygon hanya karena ditinggal sang
kekasih. Sebegitu tragiskah cinta mengajari kita? Lalu mengapa sang Nabi dengan
cintanya telah sukses, membawa Islam ke puncak peradaban. Satu kesimpulan,
berarti ada yang salah dengan makna cinta itu. Dan untuk selanjutnya, mari kita
bincangkan lagi.
Ya, ada yang salah dengan cinta
orang-orang itu. Cinta yang tak berlandaskan iman. Maka ada dua perbedaan di
sini. Cinta dengan dan tanpa Iman. Mari kita bicarakan tentang Iman dan cinta.
Karena kita tidak akan mungkin meraih kebahagiaan hakiki tanpa keduanya, atau
kita mengabaikan salah satunya. Kita tidak akan pernah sampai kepada titik
keimanan tertinggi, kecuali dengan cinta. Begitu pula sebaliknya, kita tidak
akan pernah meraih cinta yang sejati, tanpa iman sebagai dasarnya. Seperti kata
Ustadz Anis Matta dalam serial Cinta.
Iman itu laut, cintalah ombaknya.
Iman itu api, cintalah panasnya.
Iman itu angin, cintalah badainya.
Iman itu salju, cintalah dinginnya.
Iman itu sungai, cintalah arusnya.
Iman itu api, cintalah panasnya.
Iman itu angin, cintalah badainya.
Iman itu salju, cintalah dinginnya.
Iman itu sungai, cintalah arusnya.
Begitu erat hubungan antara
keduanya. Iman dan cinta. Pohon Iman tidak akan pernah tumbuh subur dan berbuah
lebat tanpa adanya perawatan dari sang pecinta. Dan inilah yang berhasil
dilakukan Rasulullah, dan generasi awal, para generasi terbaik yang pernah
diturunkan oleh Allah ke muka bumi. Merawat Iman dengan cinta, atau sebaliknya
mencintai dengan iman. Dan masih ada satu lagi yang perlu kita lihat
kedahsyatannya.
Yang ketiga. Ukhuwah. Ya ukhuwah.
Kata kamus, ukhuwah berarti persaudaraan yang didasarkan pada ajaran Islam atau
persaudaraan yang bersifat islami. Hanya berhenti sampai titik, lalu artinya
pun berhenti pula sampai di situ. Padahal, Kata sebagian orang, atau beberapa
orang, ukhuwah itu manis, seperti madu, ukhuwah itu indah, bak musim semi yang
penuh dengan bunga-bunga berwarna hijau dan merah. Tetapi apakah benar begitu
adanya. Apakah benar ukhuwah itu madu, apakah benar ukhuwah itu seindah musim
semi. Sepertinya kita tidak perlu lagi mendefinisikan makna ukhuwah, karena
ukhuwah akan mendefinisikan sendiri dirinya, dan selanjutnya kita pun akan
berkata, ukhuwah itu indah. Mari kita lihat makna ukhuwah menurut orang-orang
ini.
Yang pertama adalah ukhuwah versi
orang yang berwajah halus ini, yang berjanggut, yang matanya Nampak sayu karena
kurang tidur, yang ketika mengimani shalat atau sedang memimpin perjalanan
jauh, dia sempat bertanya, “Dimana si fulan? Mengapa ia tak tampak?”.
Tetangganya begitu tenteram, aman dari gangguan tangan dan lisannya. Ya,
ukhuwah menurut orang ini adalah renyahnya candaan yang mengasyikkan, dan
candanya tak pernah berbumbu dusta. “Wahai pemilik dua telinga!”, panggilan
yang pernah beliau sematkan kepada Az Zubair. Beliau tidak suka orang-orang
berdiri menyambut kedatangannya, beliau yang paling awal menjenguk orang sakit,
duduk bersama kaum miskin, dan memenuhi undangan budak sahaya. Inilah makna
ukhuwah versi lelaki yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi Madinah kala itu,
dan panutan umat Islam sedunia, inilah makna ukhuwah menurut Muhammad
Al-Musthofa, nabi kita. Ukhuwah yang selalu dilandasi rasa cinta dan keimanan.
Lalu kita tanyakan makna ukhuwah
menurut saudara kita ini, seorang al-akh, seorang mahasiswa yang juga aktivis
dakwah. Ukhuwah menurut dia adalah selalu rindu untuk bertemu dengan
saudaranya, lalu bersama-sama mendengarkan materi dari sang pemandu, lalu kalau
ada temannya mengantuk, dengan lembut ia mengatakan “akhi, liqonya belum
selesai”, menurut dia ukhuwah adalah bercanda riang gembira di bawah air
terjun, saling menjatuhkan dalam derasnya air dalam sebuah permainan, lalu
saling menyiramkan air dengan saudaranya, kemudian bersama-sama setelah rihlah
bersama, makan bersama di sebuah kedai bakso dengan ditraktir murabbi. Ukhuwah
menurut dia adalah membersamai saudara-saudaranya memasang pamflet, memasang
baliho, lalu seterusnya berkoordinasi sampai menjelang subuh, merencanakan
sebuah agenda besar, lalu ketika ditanya alasan, dia pun menjawab, ini semua
demi Al-Islam.
Ah, nikmat, nikmat sekali ukhuwah
berbalut keimanan dan cinta. Indah sekali ukhuwah berbaju cinta dan iman.
Kebersamaan dengan saudara-saudara seiman, seaqidah akan selalu indah, dan
nikmat, karena hakikat sebuah ukhuwah, sebuah kebersamaan adalah berjuang.
Dalam perjuangan itu, akan musnah segala rasa khawatir dan takut, hilang segala
resah dan kalut. Kebersamaan yang diridhai oleh Allah, yang telah mengikat kita
dalam bingkai kebersamaan dan persaudaraan, seperti doa-doa rabithah yang
sering kita ucapkan pada saat setelah subuh. Dan selanjutnya, kesulitan,
kerepotan, rasa sakit, semua yang ada dalam kebersamaan perjuangan iman
melahirkan kegemilangan itsar yang tiada duanya dalam sejarah. Seperti
persaudaraannya Muhajirin dan Anshar, yang saling bertukar hadiah, dan sampai
bertukar istri pula, dan inilah makna bersama menurut beberapa saudara kita.
Ukhuwah adalah saling memahami, kata
sang murabbi, lalu sang a’dho dengan semangat menjawab, saya pernah mencuci
bajunya akh Yun, saya tau makanan kesukaan akh Kit, dan sebagainya. Atau dengan
media lain, ukhuwah adalah berderingnya HP al-akh karena mendapatkan sms dari
saudaranya yang berbunyi “Ana Ukhibuka Fillah, akhi, ane hari ini bertemu
dengan cinta, iman, taqwa, kebahagiaan, dan kemuliaan. Kemudian ana kasih
alamat Antum pada mereka. Semoga mereka mendapat tempat di hati Antum”. Inilah
ukhuwah, iman, dan cinta. Yang dengan ketiganya akan menuju puncak
langit-langit peradaban ini. Dan di akhir tulisan, mari kita berdendang.
Malam siang berlalu
Gerhana kesayuan, tiada berkesudahan
Detik masa berganti, tiada berhenti
Oh Syahdunya…
Sejenak ku terkenang
Hakikat perjuangan, penuh onak dan cabaran
Bersama teman- teman, arungi kehidupan
Oh indahnya…
Gerhana kesayuan, tiada berkesudahan
Detik masa berganti, tiada berhenti
Oh Syahdunya…
Sejenak ku terkenang
Hakikat perjuangan, penuh onak dan cabaran
Bersama teman- teman, arungi kehidupan
Oh indahnya…
No comments:
Post a Comment