Sunday, November 21

Cinta Yang Diam

Disenja itu, kutuangkan tentangnya yang pernah kuingat….. Kulihat dalam gerak matamu, gelombang mahkotamu, gemuruh jantungmu. Kutuang semua yang jadi gerakmu. Hingga helaian nafasmu yang seperti berbisik pada malam, disaat fikiranku melukis segala pesonamu. Kau yang selalu menari dimataku. Kau yang membisikkan nyanyian jiwa ditelingaku. Kau yang mengucapkan “Aku rindu…” tiap kali tatap kita bertaut. Bukan bibirmu yang mengucap. Tapi matamu.. Senja ini kembali menggeliat di perbatasan malam. Aku terharu saat mengingat seolah tiada lagi hari-hari kita bersama. Apakah ini sebuah takdir. Apakah ini kan abadi. Pertemuan ini…perpisahan ini….abadikah? Mana diantara keduanya yang kan mengukir keabadian kita? Aku tengah mengenangmu, gadisku. Gadis bermata teduh yang pandai bermain musik dan menari. Kau yang berhasil merebut seluruh energi fikiranku. Kau yang akhirnya mengucapkan selamat tinggal disaat cinta sedang mekar. Seorang kawan pernah mengatakan sesuatu yang baru kusadari kebenarannya. Menurutnya, disetiap karya seniku selalu ada dirimu. Aku diam saja saat itu. Merasa takjub pada pengamatan pribadinya. Aku bahkan belum bisa memastikan benarkah demikian? Karena setiap kali aku menghasilkan karya seni berupa lukisan, syair lagu, puisi dan novel, aku sangat fokus dan tak lagi mampu membedakan apakah aku juga tengah membayangkan seseorang sebagai sumber inspirasiku. Atau memang aku mencoba tak mengindahkannya? Berusaha tak menyadarinya? Kupandang lukisanku. Tersenyum dalam diamku, kucoba mengakui. “Ya..ternyata memang ada kau disana”. Sejak kapan kau hadir dalam lukisanku?” . Aku memalingkan wajah ke arah pemandangan lembah dari sudut jendela. Tampak lembayung mulai membayang. Aku terkenang akan pelangi yang pertamakali menarikku mencintai seni lukis. Seni lukis adalah kesenian yang terakhir kupelajari. Dan ternyata aku baru tahu betapa jiwa seniku memang kental. Aku berbakat, kata guru lukisku. Setelah itu selain menulis karya-karya sastra, mengaransemen lagu, maka akupun mulai mampu menghasilkan karya-karya lukis yang diminati kalangan pecinta seni. Entah mungkin bakatku menurun dari ayahku yang sebenarnya hanyalah pelukis amatiran. Sedangkan ibuku mantan pianis yang juga guru kesenian di sebuah sekolah dasar. Mataku kembali kuarahkan pada lukisan didepanku. Sebuah lukisan taman bermain. Kutempatkan disana bunga-bunga, bangku taman, air mancur dan orang bersantai. Namun…yang manakah sosok dirimu? Sesuatu dihatiku membawa bola mataku ke sosok wanita bergaun temaram yang anggun. Berdiri sendiri menatap kolam taman. Sendiri di antara keramaian. Sekarang aku tahu, itu dirinya. Aku melukisnya. Aku memang telah menghadirkannya. Sudut matamu membentuk siluet bisu. Tatapan sejernih telaga, aku terpana sudah. Setiap kali selalu begitu. Terhisap fokusku pada sosokmu. Panjang gaun birumu, panjang rambut mayangmu menghipnotisku. Begitu sederhananya. Sebuah pesona yang hening. Begitu jelita wajah polos itu. Aku jatuh mendamba. Namun cinta tiada berani bicara. Aku tersenyum ironi. Mengapa baru kusadari perasaan yang menerpa saat melukismu disudut taman? Segala rasaku kusimpan baik-baik. Begitu rapi, begitu tertata dihati dan fikiranku. Biarkan segala rasa ini kupunya. Hanya milikku. Mungkinkah milikmu juga? Ah, mengapa tidak? Darah seniku mampu menangkap binar matamu. Mampu menangkap hangat tatapmu yang mengirimkan getar rasa. Mungkinkah kaupun jatuh cinta? Berarti cinta itu milik kita. Aku tersentak dalam lamunku. Mencoba menepisnya. “ Itu sangat mustahil”, batinku dengan nada luka. Kubuka-buka antalogi puisiku. Kubaca satu persatu. Aku lelah sangat. Ternyata benar kata temanku. Disetiap baitnya kembali kuhadirkan dirimu. Puisi-puisi romantis penuh nuansamu. Tapi di puisi-puisi yang bernuansa sosial yang kritispun , ternyata sosokmu jadi sumber inspirasiku. Begitu lama aku menjadikanmu sebagai bunga, buruh pabrik tertindas, pengemis jalanan, pelacur dipojok jalan, putri kesayangan pejabat, mahasiswi pendemo, srikandi dalam kisah wayang, kupu-kupu yang tak mau menyentuh bunga, atau gadis yang tengah jatuh cinta dan patah hati. Semua tokoh imajiku bersumber darimu. Padahal kita jarang bersapa. Kita adalah dua anak manusia berlainan dunia. Duniaku yang diam dalam geraknya. Dan selalu bergerak dalam kesunyiannya. Aku terkenal diduniaku sendiri. Aku adalah seniman serba bisa kebanggaan masyarakat pecinta seni. Aku adalah seniman masa depan. Kalangan seni sudah memperkirakan namaku akan menjadi sebuah legenda baru. Ah, aku kini tak terlalu perduli dengan semua julukan itu.Aku hanya ingin mengenangmu. Gadis bergaun anggun dengan senyum ba’malaikat. Kembali fikiranku melayang ke beberapa bulan lalu, saat pertamakali kau hadir dalam hidupku. Saat itu dirimu adalah gadis anggun yang mengajarkan kerajinan tangan pada murid-muridnya yang tak mampu. “ Aku tak punya darah seni yang kental sepertimu”, begitu ujarmu suatu hari saat membawa murid-muridmu mengunjungi galeriku. Melihat hasil karyaku. Membaca buku-bukuku di perpustakaan pribadiku. Dan mendengarkan permainan pianoku yang menggugah pendengaran para maestro seni musik dinegeri ini. Akulah seniwati sejati yang kesepian dan jatuh cinta pada gadis pengajar yang kutemui saat audisi menari disanggarku beberapa bulan lalu. Gadis ini berbakat menari. Namun kesibukan mengajar menghalangi potensinya menjadi penari professional. Dia memilih menjadi sukarelawan diantara anak-anak di sepanjang rel kereta itu. Aku sendiri belum mampu idealis seperti dirinya. Aku masih menempati menara gadingku sendiri. Namun persahabatan aku dan dia terjalin indah. Dan kekagumankupun berbuah sayang…dan akhirnya cinta. Sebentuk cinta yang diam. Cinta yang tak mampu dan tak boleh kutunjukkan. Karena aku wanita, dan dirimupun wanita. Sejatinya wanita. Bukan sepertiku yang setengah wanita. Karena hormonku pria. Cinta ini hanya mampu kusimpan. Sampai suatu hari kutemukan sebuah ledakan dihatiku. Saat melihatnya berpegangan tangan dengan seorang pemuda. Seorang pemuda yang terlihat dewasa. Yang tangannya pasti mampu menghangatkan aliran darahnya. Mampu membuatnya tersenyum bahagia. Pemuda itu jelas bukan diriku. Bukankah aku ini seorang perempuan dimatanya? Saat itu hatiku begitu sakit. Ternyata rasa mencintai tak lagi indah. Ternyata mencintai itu sebuah derita. Dan aku langsung jatuh sakit diterpanya. Diterpa perasaan yang kutahu tidaklah sepantasnya kumiliki. Baru kusadari saat itu aku terpuruk dalam jalur cinta yang salah arah. Dan aku terlambat menyadarinya. Aku bahkan menikmatinya. Aku tak ingin kehilangan rasa itu. Rasa yang begitu ajaib yang baru kali ini mampu menggerakan seluruh panca indraku. Setelah sebelum-sebelumnya mati rasa. Karena gadis itu aku menjadi hidup. Dan dirinyapun menghidupkan rasa seniku yang akhir-akhir ini dinilai kritikus seni menjadi agak kering dan tak lagi berjiwa. Sejak kepergian ibuku, rasa seniku memang tak lagi berjiwa. Dan gadis itu telah hadir membasahinya hingga lembab dan kembali hidup. Dia yang baru kukenal beberapa bulan saja. Betapa hadirmu bagiku sebuah keajaiaban seni itu sendiri. Dan keajaiban itupun masih tetap hadir meski kamu telah pergi. Pergi bersama pemuda itu. Yang membawamu jauh dariku. Entah kapan aku mampu melihatmu lagi dalam keadaan nyata. Bukan lagi sebuah mimpi. Bukan lagi sebuah bayang. Bukan lagi semacam ruh dalam setiap karya seniku. Pagi itu setelah kemarin aku melihatmu berdua dengannya, kau datang padaku. Tidak bersama murid-muridmu. Kau datang sediri membawa sekeranjang jeruk Sunkist kesukaanku. Tersenyum tipis dan dengan segera mengupas sebuah jerukmu dan menyodorkannya padaku tanpa bicara. Tanpa menyapa pula sebelumnya. Kau selalu tahu aku jarang menjawab sapamu tiap kali kau datang sendiri sementara aku sedang melukis atau membuat syair lagu dan puisi. “ Hmm..tahukah kau waktu itu, sosokmu ternyata selalu ada dalam jemariku?”, gumamku. Sendiri. Aku hanya mengucapkan terimakasih dengan santun seperti biasanya. Aku memang dikenal sebagai gadis seniman yang pendiam dan santun. Tak banyak bicara tapi berkarya. Mereka tak pernah tahu semua kebanggaan itu sesungguhnya tak selalu membahagiakanku. Hanya aku dan temanku Fajar, selain orang tuaku tentunya yang tahu tentang diriku yang sebenarnya. Fajar adalah sahabat sejak kecil. Dan dia adalah sahabat sekaligus kawan berkelahiku sejak masa-masa sekolah. Aku yang dikenal pendiam dan pemnyendiri tapi mampu berkelahi mengalahkan anak laki-laki manapun saat itu. Aku berlatih segala ilmu bela diri sejak balita. Ayah dan ibu memasukanku ke segala klub kegiatan untuk meredam keganjilan diriku. Aku telah berhasil membanggakan publik dengan segala talenta seniku yang menghasilkan banyak penghargaan, bahkan mengharumkan nama daerahku, negaraku. Namun aku telah mengecewakan orang-orang dekatku karena ketidaknormalan yang baru kusadari sejak duduk dibangku SMP. Aku telah membuat tumpah air mata orangtuaku. Aku gagal menjadi gadis mereka yang sebenarnya. Aku terus masuk dalam duniaku. Terus melupakan mereka yang senantiasa mencoba mengobatiku dengan berbagai cara. Dan itu membuatku suatu hari menjadi histeris. Sejak itu orangtua dan sahabatku berhenti mengupayakan kesembuhanku. Hanya mengawasiku. Membantuku menjalani kehidupan dengan senormal mungkin. Akupun tak ingin frontal mengekspresikan segala hasrat maskulinku. Aku tak ingin orangtuaku menangis darah. Aku sudah cukup mencederai batin mereka. “ Maafkan aku”, gumamku entah pada siapa. Fikiranku ke masa lalu. Tapi mataku tekun menatap sketsa wajah dia yang sedang kubuat malam ini. Ya malam ini aku mencoba menggambar sosok dia yang sebenarnya. Bukan lagi sesosok yang hadir tanpa sengaja dalam setiap lukisanku ataupun syair-syairku. Tapi sosok yang memang sengaja ingin kubuat ada. Aku ingin melukis wajah lembutnya yang menghipnotisku hingga detik ini. Aku ingin membuatkan syair lagu untuknya di studioku nanti. Dan lagu itu akan kunyanyikan sendiri. Aku akan membuatkan puisi untuk dia. Puisi yang khusus bicara tentang dirinya. Dan aku akan membuatkan kisah cintaku dengannya. Meski kenyataannya aku dan dia tak pernah benar-benar terlibat dalam suatu hubungan spesial. Namun aku selalu merasa dia tahu apa yang kurasa. Dia tahu aku memujanya. “ Kalaupun ‘gadismu’ itu memang seperti apa yang kau fikirkan. Kurasa itu bukan cinta, Jingga. Tapi hanya sebentuk kekaguman padamu semata. Ingat, disini kau yang bermasalah, bukan dia. Gadismu itu perempuan normal!” Fajar menjelaskan dengan sedikit emosional saat aku menceritakan perasaanku tentangmu. Dan mencoba berspekulasi tentang perasaanmu padaku. Aku tersenyum maklum. Sudah sejak masa SMP aku tahu Fajar menaruh rasa indah untukku. Sahabat masa kecilnya ini. Rasa yang tak pernah bersambut. Yang sempat dia utarakan terus terang, tapi hanya kuberikan senyum sebagai jawabnya. Fajar yang tetap setia menjadi teman baikku hingga kini. “Maafkan aku selau mengecewakanmu, kawan. Batinku, lirih. Aku merasa kesal pada diriku sendiri. Hari ini benar-benar tak mampu berkonsentrasi. Lukisan tentangmu masih setengah jadi karena aku lebih sering melamunkan dirimu daripada melukisnya. Syair laguku tak selesai karena aku tiba-tiba begitu hanyut pada nada-nada yang kuciptakan sendiri. Terhanyut pada romantisme sosokmu yang begitu perempuan. Bait-bait puisikupun hilang arah dan tak mencapai ending karena keburu basah oleh air mataku sendiri. “Aku rindu kamu, gadisku”., bisikku pada diri sendiri. Hingga kisahku tentang dirimu yang kutulis dalam sebentuk novelette, hanya bertahan di bab ketiga. Aku dilanda rasa marah, sedih, kecewa, kangen, benci dan histeria romantika yang tak terjawab. Tak tersampaikan pesan-pesannya, tak terbaca simbol-simbolnya oleh dia, sang mahadewi. Bidadari senjaku. Aku hanyut dalam cinta yang diam namun bergelora dalam jiwa mudaku yang dengan susah payah kuredam kegalauannya. Jiwa muda yang merasa harus terbalas cintanya, namun sadar situasi tak mendukungnya. Takkan mungkin memihaknya. “AKU TIDAK NORMAL!”, jeritnku suatu malam dikamarku yang untungnya kedap suara. Perasaan ini begitu membelenggu. Dia mendidih didalam, dan mendingin diluar. Aku terjebak dalam pertarungan dua rasa. Namun aku belum kalah. Aku tengah mengusahakan kemenanganku. Kemenangan merebut ruhmu dalam setiap getar seniku. Aku mungkin tak berhasil membawamu dalam sosok fisikal. Tapi akan kugenggam jiwamu. Cinta versiku. Kemenangan versiku pula. Dan itu cukup aku yang merasakannya sendiri. Aku berlari keruang tengah galleri. Aku buka kain pembungkus. Kutatap setiap lukisan yang menghadirkan sosok dirinya. Pada salah satu lukisan, aku berhenti. Kutatap dengan kebencian dan cinta. “ Apakah tak pernah kau rasakan, dalam lukisanku, syair-syair laguku, bait-bait puisiku, denting pianoku, kisah-kisahku…semuanya ada kamu disitu. Ada dirimu didalamnya. Mengapa kau tak pernah merasakannya? Mengapa kau tak mampu memaknainya?” Aku bicara sendiri pada lukisan didepanku. Diterangi temaramnya lampu, lukisan menjadi begitu hidup. Kuulurkan tanganku mengusap seraut wajah ayu. Lalu dengan gemas lukisan setengah jadi itu kurobek dan kuhempaskan. Terkoyak dan meninggalkan lukanya yang menganga di sudut hatiku. Aku menangis semalaman sesudahnya. Setelah berbulan-bulan aku terjebak dalam ilusiku sendiri. Aku mulai mampu mengekpresikan sosokmu dalam sebuah karya nyata. Aku puas dengan hasil kerjaku menghadirkan sosok gadis itu secara utuh. Tak lagi sebatas pelengkap lukisanku. Tapi sebagai sosok yang hidup. Juga sebuah lagu balada yang menyuarakan hasrat yang tak mengutuh pada dia. Dan sebuah novel yang berkisah khusus tentang sosoknya sebagai tokoh utama mendampingiku. Pagi ini setelah menghirup segelas jus mangga sebagai sarapan pagiku, aku mencoba mengontak dia lewat email. Aku tak pernah lagi mengontaknya lewat telpon atau sekedar sms sejak perpisahan kami. Aku lebih suka lewat email. Karena memberiku jeda waktu untuk memikirkan apa jawabku bila dia bertanya tentang kabarku. Aku tak ingin dia tahu aku sangat kehilangan dirinya. Dan masih selalu memikirkannya. Aku benci bercampur getaran rasa lainnya bila dia mengucapkan kerinduannya padaku. Entah rindu apa yang dia maksud. Rindu sebagai sahabatkah? Aku tak butuh itu. Aku tak mau jadi sahabatmu. Sekarang dia adalah ‘musuh’ku. Tak perduli apa pendapat dunia tentangku soal ini. Aku berhak untuk mengekspresikan kemarahanku. Benar atau salah biar aku yang menilai. Bukan orang lain, apalagi dirinya. “ Hello, Dewi…ini aku, Jingga” …..dstnya….email kuketik dengan jari bergetar. Kukirim dengan lega juga takut. Ya..sejak aku kehilanganmu, aku mulai tak enjoy lagi setiap kali mengontakmu. Entah mengapa, sepertinya tiap responmu selalu melukaiku. Aku menjadi begitu sensi. Tak lagi rasional. Ah..sejak dulu rasioku memang sudah kutinggalkan. Aku lebih suka menggunakan intuisi dan hatiku. Meskipun hidupku menjadi super sentimental karenanya. Seminggu kemudian email itu baru dibalas. Singkat saja, bahwa dia berterimakasih atas kerja kerasku membuat karya seni untuknya…bla…bla…bla…aku tak terlalu berminat membacanya. Kesan basa basinya sudah semakin basi bagiku. Tiba-tiba aku kaget sendiri. Aku merasa malu pada diriku. Mengapa begitu kekanakan diriku ini? Aku adalah gadis berprestasi. Mengapa aku tak bersyukur dengan segala anugrah yang telah kudapat? Ada apa dengan diriku? Mengapa fikiranku masih terpenjara pada masa laluku? Pada seseorang yang tak pernah membuka hatinya untukku? Mengapa cinta ini begitu membutakan mataku? Apakah karena aku masih muda? Masih sangat emosional bicara tentang cinta. Dan..ohh..lupakah aku pada kodratku sendiri? Bahwa mencintai seorang gadis sangatlah tak layak untukku. Pemudalah yang harus kucintai. Cintaku sudah jelas terlarang. Betapapun murninya. Yang murni tak selalu suci. Yang murni tak selalu diterima. Aku mencoba hening sejenak. Membaca hatiku sendiri. Bertarung dengan logika mudaku. Entah kenapa aku jadi ingat Tuhan. Sudah lama Dia aku lupakan. Yang kuingat hanya dia dan bukan DIA. Tapi aku mencoba memaklumi perubahan ini. Pastilah karena aku sedang butuh Tangan-NYA, maka aku ingat Tuhan. Aku butuh pertolongannya agar mampu meluruskan logikaku kembali. Agar cinta yang konon dari MAHA SUMBER CINTA ini dialihkan untuk cinta yang lebih universal. Bukan lagi pada Mahadewiku. Aku memohon padaNYA agar mengampuni segala kealpaanku. Aku juga mohon agar cinta pada gadisku pelan-pelan teralihkan pada malaikat-malaikat mungilnya yang lebih membutuhkan. Aku pecaya doa adalah sebentuk upaya mencari jawaban. Maka dengan ditemani Fajar, aku mulai berembuk untuk bekerjasama dengan rekan-rekan Dewi yang lain untuk membimbing murid-murid cilik itu mengenal dunia seni lebih jauh. Dengan demikian aku telah membagi cintaku untuk dewiku lewat malaikat kecilnya yang sangat dia sayangi. Dewiku memang telah pergi ke kota lain meneruskan pendidikannya. Kota tempat tinggal pemuda yang dicintainya. Mungkin mereka masih bersama. Tapi aku mencoba melupakan semua yang pernah kurasa. Mencoba memaafkan diriku sendiri. Mencoba mengalihkan cintaku pada sesuatu yang lebih luas. Pada mereka yang lama tidak pernah kusentuh di menara gadingku. Aku mulai berdamai ada diriku sendiri. Kini aku tengah mencoba berusaha menemukan kebahagiaan hakiki di dua duniaku sekarang. Membentuk bibit-bibit baru dalam meramaikan kesenian sastra, lukis dan musik pada generasi penerusku. Setahun telah berlalu, Angin Oktober yang dingin tak mampu meredam gairahku menjadi pengajar murid-murid kecilku. Mereka adalah Dewi-dewi kecilku. Malaikatku sekarang. “ Terimakasih duhai mahadewiku, lewat dirimu…setidaknya aku menemukan cinta yang lain”… Aku tersenyum sendiri seraya meneruskan kisah hidupku dalam sebentuk novel. Sebuah kisah tentang sebentuk cinta yang diam tapi terus bergerak dalam pencariannya.

No comments: