Saturday, November 20

Hati Nurani

Pemimpin kaum sufi, Syaikh Syihabuddin Suhrawardi, pernah memberi nasihat kepada para muridnya, ''Jagalah dirimu seperti landak menjaga dirinya. Ia melindungi perutnya dengan merapat ke tanah dan melindungi punggungnya dengan duri-duri keras, sehingga bagian dalamnya terjaga dan bagian luarnya terlindungi. Minumlah pahitnya dunia agar kamu hidup sejahtera, dan cintailah kematian supaya kamu berumur panjang.'' Rasanya, di saat jatidiri insaniah sedang terancam kehancuran akibat serbuan berbagai krisis rohani dan jasmani, wasiat pemuka para bijak ini layak dicamkan dengan saksama. Sebab, menurut Sigmund Freud, perilaku manusia adalah hasil interaksi Id, Ego, dan Superego. Id, atau istilah agamanya hawa nafsu, menyimpan dorongan-dorongan biologis, berupa Libido yang merupakan insting reproduktif serta konstruktif, dan Thanatos yang bersifat agresif serta destruktif. Celakanya, Id selalu ingin segera melampiaskan kebutuhannya, tanpa peduli bagaimana caranya, yang penting enak dan puas. Dalam istilah Imam Ghazali disebut nafsu hewani. Untung Tuhan mengaruniakan Ego, yang menjembatani desakan Id dengan rasionalitas dan realita. Seperti pada waktu seorang pejabat digoda pengusaha untuk meluluskan proyek kongkalikong, padahal pengawasan sedang dilakukan oleh satgas anti-korupsi dengan ketat. Ego melarang, jangan teruskan, tertangkap basah kamu nanti. Hasilnya memang baik, tak terjadi kebocoran uang negara. Cuma motivasinya yang kelewat rendah, gara-gara si pejabat takut masuk penjara. Pertanyaan kita, apakah manusia cukup membentengi diri dengan mempertebal Egonya? Disimak dari dua contoh tadi, kelas Ego hanya setingkat di atas binatang, sebab si pelaku baru takut berbuat sesuatu jika keadaan tidak memungkinkan, persis kucing yang tak berani mencuri ikan karena bibi memegang tangkai sapu. Padahal kata Tuhan, ''Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam susunan yang paling sempurna.'' (QS 95:4) Bandingkan umpamanya dengan doa sufi wanita dari Bashrah, Rabi'ah Al Adawiah, ''Tuhanku. Jika aku beribadah karena takut akan nerakaMu, jerumuskan aku ke dalam api jahanam sepanjang masa. Jika aku beribadah karena menginginkan surgaMu, tutup pintunya rapat-rapat supaya aku tak dapat masuk ke dalamnya. Tetapi jika aku beribadah karena aku mencintaMu, jangan kau tampik kerinduanku padaMu.'' Maka atas kearifanNya, Tuhan memberikan Superego yang menjelma sebagai pengawal kepribadian. Ia adalah lumatul malaikat, atau bisikan malaikat, berupa hati nurani, yaitu internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Tatkala seorang pejabat digoda untuk berkolusi dengan pengusaha, menolak demi kepentingan bangsa dan negara, meskipun pengawasan sedang longgar, itulah hati nurani. Karunia Tuhan paling tinggi ini, sebetulnya tak bisa mati. Hanya, acapkali dilumpuhkan oleh akumulasi maksiat dan dosa. Jadi, yang perlu dilakukan ialah mencegah agar akal tak diperbudak hawa nafsu, sebagaimana ditekankan oleh Sahabat Abu Bakar As Shiddiq RA: ''Thuba li man kana 'aqluhu amiran wa hawahu asiran. Wa wailun li man kana hawahu amiran wa 'aqluhu asiran (Beruntung sekali orang yang akalnya menjadi panglima dan hawa nafsunya menjadi pesakitan. Dan sangat celaka orang yang mengangkat hawa nafsunya sebagai maharaja sedangkan akalnya dijadikan tawanan).'' **

No comments: