Thursday, October 7

Book Review: Manusia Bugis

180pxthe_bugis_cover
Manusia Bugis
Judul Asli: The Bugis
Penulis: Christian Pelras
Penerjemah: Abdul Rahman Abu Dkk.
Penerbit: Nalar, 2006
Tebal: xxxix + 449
Siapakah manusia Bugis itu? Apa karakteristik yang
melekat padanya sehingga berbeda de-ngan kelompok
manusia lainnya, seperti manusia Jawa, Bali, Melayu,
dan lain-lain? Dan bagaimana karakter kebugisan itu
terbentuk, bertahan, dan berubah mengikuti gerak-gerak
zaman?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang
dituangkan oleh Christian Pelras, antropolog
berkebangsaan Prancis, dalam bukunya, Manusia Bugis.
Spektrum pemaparannya amat luas dan komprehensif; bak
sebuah repertoar dalam adegan sandiwara Hamlet. Memuat
tentang asal-usul, kondisi geografi dan ekologi,
sistem teknologi, organisasi sosial dan sistem
perkawinan, seni sastra, religi, ekonomi, politik, dan
watak manusia Bugis menurut tapak-tapak waktu. Mulai
dari milenium pertama tarikh Masehi hingga sekarang.
Penyajian seperti itu dimungkinkan karena Pelras
melakukan penelusuran dokumen yang amat teliti dan
penelitian lapangan yang intensif. Risetnya
berlangsung selama 40 tahun (1950–1990).
Temuannya mencengangkan. Sebab-, jejak-jejak masa
silam orang Bugis yang masih samar-samar dan yang
belum terinstal dalam peta pengetahuan bagi umumnya
orang Bugis, termasuk pemerhati dan ilmuwan sosial,
dipaparkan secara amat meyakinkan-. Meskipun pijakan
penelitiannya, kitab La Galigo, diragukan kesahihannya
dan bahkan ditentang oleh sejumlah peneliti- mengenai
Sulawesi Selatan lainnya, seperti Andaya, Caldwell,
dan Koolhof, argumentasinya logis dan di-ser-tai
dengan bukti arkeologis.
Lebih dari itu, ia menampik keyakinan masyarakat umum
dan ilmiah- bahwa moyang orang Bugis pelaut ulung.
Bagi Pelras, mereka petani dan pedagang. Aktivitas
kemaritiman baru ditekuni orang Bugis pada abad ke-18.
Anggapan mengenai nenek- moyang- orang Bugis sebagai
pelaut ulung bersumber dari banyaknya perahu Bugis
pada abad ke-19 yang berlabuh di berbagai wilayah
Nusantara, Papua, Singa-pura, bagian selatan Filipina,
dan pantai barat laut Australia. Lagi pula, perahu
phinisi yang terkenal dan dianggap telah berusia
ratusan tahun, bentuk, dan model akhirnya baru
ditemu-kan antara penghujung abad ke-19 hingga 1930-an
(hlm. 3–4).
Hal lain yang diungkap oleh Pelras adalah bahwa orang
Bugis sejak 1800-an telah menembus ruang yang masih-
dibatasi oleh jarak. James Brook, penge-lana berkulit
putih yang berkunjung ke Wajo pada 1840, ditanya
tentang situasi politik di Turki dan nasib Napoleon
(Pelras, Tapak-tapak Waktu-, 2002: 45). Selain itu,
orang Bugis mampu mendirikan kerajaan yang tidak
mengandung pengaruh India dan tidak mendirikan kota
sebagai pusat aktivitas mereka. Perpaduan antara karya
sastra tertulis dan tradisi lisan melahirkan La Galigo
yang justru lebih panjang dari Mahabarata.
Sungguhpun demikian, karya Pelras tidak luput dari
kelemahan, ter-utama menyangkut karakter orang Bugis
di lapis waktu kini. Klaim Pelras bahwa pola interaksi
sehari-hari warga masyarakat Bugis dilandasi oleh
sistem patron-klien tampaknya sudah sangat- langka.
Itu tampak nyata dalam kehidupan petani dan nelayan,
dengan hubungan antara ponggawa (pemilik sarana
produksi) dan sawi (buruh yang mengoperasikan
peralatan produksi) yang cenderung eksploitatif. Dalam
sistem bagi hasil, sawi men-dapatkan bagian yang
sa-ngat kecil, sehingga kondisi ekonominya selalu
ber-ada di am-bang kelaparan. Kalaupun ponggawa
sa-ngat mudah- memberikan pinjaman berupa pangan dan
uang kepada sawi-nya, itu lebih se-bagai strategi
ponggawa agar sawi-nya senantiasa dalam genggamannya.
Demikian halnya karakter orang Bugis yang menghargai
orang lain dan sangat setia kawan, tampaknya mungkin
sudah mulai tergerus oleh arus zaman. Lihatlah kondisi
pada 2000: Sulawesi Selatan, termasuk di daerah Bugis,
terdapat banyak balita dan anak-anak yang menderita
kelaparan gizi, juga cukup banyak orang Bugis yang
menunaikan ibadah haji. Hal itu meng-isyaratkan bahwa
orang Bugis yang arus rezekinya agak deras kurang
memiliki kepedulian terhadap tetangganya.
Drs Yahya MA, dosen antropologi Universitas Hasanuddin

No comments: